Humanitarian Islam: Manusia Pelindung

Deniansyah Damanik | Pengamat Keagamaan

Manusia selalu berusaha menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu, dibandingkan menyelamatkan orang lain. Ini sedang tidak dalam konteks menjaga diri (hifz nafs), bukan sedang melindungi privasi, dan ranah-ranah dharuri.

Manusia kerap kali enggan melindungi hal yang tidak menyangkut jiwanya, tidak berhubungan dengan ruhaninya, inilah sebab universal dalam manusia bahwa manusia selalu tidak menjadi bagian dalam jiwa orang lain. Konon lagi hal-hal particular pada urusan publik.

Urusan melindungi manusia yang satu dengan manusia yang lain merupakan ajaran Islam berbasis salimah (keselamatan). “Tidaklah dikatakan sebagai orang muslim kalaulah tidak menjaga sesama muslim lainnya dari lisan dan tangannya (al-Hadis). Dari pemahaman makna Hadis tersebut, sudah diprediksi bahwa manusia kerap kali bercakap kotor, menipu, tukang olah, memfitnah, mengadu domba atau bahkan seperti ilustrasi al-Quran membawa kayu bakar (hammalata al-hatab: Qs. Al-Lahab: 4).

Begitu juga dominasi kekuasaan manusia, siapa yang kuat menghantam yang lemah, yang punya uang dia yang berkuasa, atau bahkan berbuat tindak pidana dan merugikan orang lain.

Perbuatan yang merusak dan mengganggu kenyamanan hidup orang lain mencedrai prinsip-prinsip Kemanusiaan, Prinsip Hukum, Prinsip Etika, Prinsip Warga Negara, prinsip Hak Asasi, dan lain sebagainya merupakan tindakan yang tidak dibenarkan di era modern ini.

Kalamullah sudah mengabarkan (Qs. Al-Balad: 17) bahwa salah satu ciri orang beriman ialah saling berpesan untuk bersabar (tawasshau bi shabri) dan saling berpesan untuk berkasih sayang (tawasshau bil marhamah).

Hendaknya manusia bisa menyayangi sesama manusia lainnya, tidak pandang tua dan muda, berbeda etnis dan budaya, berbeda bahasa dan agama. Inilah sebagian makna dari Sila Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “persatuan Indonesia” serta implementasi dari konsep tawasuth (Qs. Al Baqarah: 143).

Diakhir, manusia pelindung dan melindungi sesama manusia lainnya merupakan wujud dari keislaman yang moderat. Tidak ekstrimisme dan radikalisme. Karenanya paham-paham moderat dibutuhkan dalam Humanitarian Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *