Mukasyafah Hukum, Bangsa Besar, dan Mandat Otoriter
Oleh: Deniansyah Damanik
Cita-cita hukum yang dimandatkan filosof, Penguasa dan Keilahian tidak terpancar dalam qolbu penegak hukum. Palu sang maha agung sudah usang, palu hedonis dan manusia rakus lebih bergoyang.
Proposal kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hanya terjadi diruang imajiner. Adagium hanya olok-olok sarjana si paling hukum. Kedalaman hati mati dan buta melihat kebenaran. Akankah masih ada simerasa paling hukum ? sipaling membela keadilan ? atau masih menghukumi atas dasar karena nafsu keadilan dan undang-undang ?
Setiap hukum ada masanya, setiap masa ada konstitusinya. Doktrin lama ditinggalkan, Doktrin baru diterapkan. Akankah pergumulan hukum kembali dan mempertimbangkan asbabun nuzulnya atau sebatas perenungan ?
Duka cita mendalam untuk “erga omnes”, penegak hukum mulai gagal merasakan “mens rea”, ada hijab pada penegak hukum. Sipaling hukum gagal mendiagnosa kebenaran ! ada kesalahan pikiran dan kebatinan membaca pesan-pesan ilahi rabbi. Ternyata hatinya mati, hatinya nafsu dan perbuatannya kotor.
Bangsa Besar
Besar Bangsa apa besar hukum ? Bangsa Hukum apa Bangsa Besar ? melawan kemungkaran dan memperlebar kemaslahatan adalah pesan tuhan.Kekuasaan memunculkan kenifakan. Sebenarnya siapa yang disebut dengan bangsa yang besar itu ? bukankah kita hanya bisa mengklaim, bahwa “bangsa kita besar, bangsa besar adalah kita”. Faktanya ada masalah besar pada bangsa besar, ada bangsa besar pada masalah besar.
Kalau hukum sudah hukum rimba, jadilah hakim yang merimbakan bangsa. Bangsa besar hanya ada dalam pikiran khoyali. manakah sang penguasa yang menjalankan nilai luhur ulul azmi ? konon katanya mengimplementasikan dan mencontoh dari pemilik uswah al hasanah ? Perlunya merenung si bangsa besar kembali dan mengingat kekaisaran Nabi Dawud, Sulaiman, dan Nabi Muhammad memimpin kekuasaan dan merodakan pemerintahan. Nilai-nilai dasar siddiq, amanah, tabligh, fathonah hanya menjadi candi di bangsa ini.
Mandat Otoriter
Mungkinkah takhalli, tahalli dan tajalli masih ada di bangsa besar, atau itu hanya perasaan kekuasaan saja yang paling simengerti tasawuf, syariatisasi dan demokrasi ? Nilai-nilai tirani sudah diingatkan para tokoh bangsa ini, bahkan stigma negatif pernah terlontar kekuasaan pemerintahan saat ini lebih kejam dari raja-raja nusantara.
Masihkah kezaliman berubah warna seperti orde baru ? menggunakan dalil sebagai “bangsa besar” dan “bangsa hukum”. Mana para reformis bangsa ini ? Pada akhirnya kita kekurangan tenaga melawan otoritarianisme. Mandat ini mulai diwahyukan, muncul sosok pembawa tongkat kebenaran, dilabeli sebagai mujadid bangsa. Bukankah kita kekurangan pengetahuan bahwa ini belum waktunya Imam Mahdi turun ke dunia sebagai sosok pemimpin yang adil dan memberantas kezholiman.