Agama Kota, Mistisme Dan Kaum Salik

Oleh: Deniansyah Damanik

Agama Kota
Keyakinan masyarakat kelas bawah dengan keimanan kaum urban ialah berbeda pada zona vertikal-horizontal. Kaum urban cenderung beragama pada hal mudah, simple dan praktis. Berbanding terbalik dengan kelas bawah yang mengambil hal sulit, ribet dan teoritis kelas berat.

Agama kota dalam hal sosial memiliki keterbatasan, berbeda jauh dengan kelas bawah yang sangat guyub dalam bertetangga. Akan tetapi Agama Kota jauh lebih menerima perbedaan, toleransi dan cara beragama. Sedikit berbeda dengan kelas bawah yang kurang permisif, inklusif dan masif terhadap keagamaan.

Kendati demikian, tidak ada jaminan bahwa agama kelas bawah tidak lebih agung dari agama kota. Begitu juga balasan pahala agama kota tidak lebih berprotein dan tidak lebih mengenyangkan dari kelas bawah. Semua tergantung siapa yang paling “tawakkul” dihadapan ilahi.

Agama Kota didominasi oleh Islam Modernis, Islam Reformis dan Islam Kontemporer. Mengedepankan integrasi-interkonektif dan cara beragama yang mempunyai tempat kembali (rujukan). Berbeda dengan kelas bawah yang masih tradisional, beragama leluhur, sesuai kebiasaan masyarakat dan yang penting adalah ajaran turun-temurun.

Tidak mengherankan Agama Kota bersifat rasional, dan kelas bawah bersifat supranatural. Oleh karena itu bagi sebagian kepercayaan agama kelas bawah masih menganut animisme, dinamisme, Kejawen, Islam Abangan, dll.

Mistis
Kepercayaan masyarakat masih ada berpaham animisme dan dinamisme. Adanya teologi nenek moyang, roh-roh, dan kekuatan ghaib. Begitu juga benda-benda yang dipercaya mengandung black magic, memberi perlindungan, mendatangkan syafaat dan menurunkan rezeki.

Percaya atau tidak bahwa mengimani adanya hal ghaib merupakan keniscayaan di dalam wahyu. Manusia tidak dianggap beriman jika tidak percaya bahwa ada sisi lain dan kehidupan yang semu yang tidak dibaca oleh inderawi.

Secara historis mistis sudah diajarkan oleh Harut dan Marut yang disalahgunakan oleh masyarakat terdahulu (bibabila haruta wa marut), tukang sihir Fir’aun turut mempertontonkan mistis dan menjadi kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan.

Bagi masyarakat kelas bawah mistis masih dianggap sebagai pelindung; pembantu; dan pemberi. Sedangkan bagi Agama Kota mistis hanya sebagai fiksi, utopia, dan kepercayaan masyarakat agama terdahulu (kuno).

Mistis ini pada akhirnya menjadi bagian dari kepercayaan, sesembahan dan sulit di dakwahkan. Di sisi lain kajian mistisme ini bukan hanya pada praktik perdukunan, melainkan perjalanan para salik yang melewati berbagai keadaan tarekat-hakikat-ma’rifat.

Mistisme para salik dijadikan kajian, tingkatan, dan ibadah ruhani untuk bertaqorrub pada Allah. Sayangnya kegagalan memahami mistis menganggap kekuatan supranatural merupakan manifestasi dari wujud esa. Akhirnya manusia terjatuh dalam lembah kesyirikan dikarenakan menolak dan gagal memahami al Quran dan Sunnah.

Kaum Salik
Banyak jalan menuju pencipta, berbeda perahu tetapi satu tujuan. Ada yang memahami tabir-tabir ilahi dengan jalan yang berat ada juga menempuh jalur yang ringan.

Muncul para kaum salik perkotaan dengan budaya kota, dan muncul kaum salik dengan budaya kampung. Mistisme hakikat dan ma’rifat berbeda-beda dikarenakan jalan yang ditempuh berbeda warna. Itulah kaum salik, diprasangka sebagai kaum khurafat dan dinilai sesat pada ajaran zohirnya.

Kendati demikian Kaum Salik Kota harus menguasai fikih progresif, sedangkan Kaum Salik Kampung menguasai fikih klasik. Agar mistis pada Kaum Salik tidak dianggap hal yang sesat-menyesatkan.

Kaum Salik harus memahami mistis secara shadiq. Bukan mistis yang penuh kadzib. Integrasikan antara syariat dan tarekat, dan interkonektifkan tarekat dan syariat. Hubungkan dengan ilmu pengetahuan dan dalamkan dengan kebenaran. Begitulah pemahaman agama kota, Salik Kota dan tarekat Modern.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *